“Apaan ini…?”
Yang ada di atas
meja di tempat persembunyian mereka adalah gumpalan mirip tanah liat yang
dibentuk menjadi kubus. Dengan rasa penasaran, Placer memungutnya.
“Bau ini belum
pernah kuhirup….”
“Tunggu, Placer.”
Saat Placer
berbalik, ada Horca yang tampak tengah berpikir dan memegangi dagunya.
Ekspresinya begitu serius, tidak seperti biasanya.
Horca yang selalu
mengangkat ujung bibirnya, menyeringai. Sudah berapa tahun, ya… ia tidak melihat
ekspresinya itu―
Placer menahan napasnya.
“Menurut
pengamatanku, itu….”
Kokujohyako adalah
kelompok perampok yang paling ditakuti di permukaan.
Rumornya, semua
milikmu akan dirampas jika sampai bertemu mereka― mereka adalah sosok yang
dibenci.
Mereka tinggal di
distrik 12―
sebuah wilayah tandus yang hanya ditinggali sedikit kelompok keluarga yang
kemudian membentuk kelompok minoritas. Jika digambarkan, distrik 12 adalah
tanah yang telah tercemar, rumput bahkan tidak bisa tumbuh, binatang yang dapat
dijadikan bahan makanan pun hampir semuanya tidak dapat beradaptasi disana.
Bahan makanan lain pun hanya seadanya, membuat mereka selalu kelaparan.
―Karenanya, mau tidak mau
mereka harus menjadikan ‘penjarahan’ sebagai jalan hidup mereka.
Kebanyakan anggota
mereka tetap tinggal di markas, menyisakan tiga orang petarung dengan gaya
berburu yang unik.
Vida, Horca,
Placer― Mereka
bertigalah yang membuat Kokujohyako dikenal akan reputasi buruk, ganas, dan
disebut sebagai kelompok paling kejam di daratan.
Distrik 12 yang awalnya hanya perkampungan misterius
yang diragukan keberadaannya, kini dikenal sebagai neraka daratan bersamaan
dengan lahirnya mereka bertiga.
“Dengar, dan jangan kaget, Placer. Itu tuh, makanan.”
Placer mengerutkan wajah setelah mendengar kata-kata yang Horca ucapkan
dengan tatapan serius itu.
“Makanan? Gak mungkin, lah! Jangan piker kau bisa terus menipuku, ya…!”
“Dengar baik-baik,
Placer. Memang benar, kemarin lusa aku bohong dan membuatmu makan batu berlumut.
Aku mengakuinya.”
“Gigiku sampai
lepas dua biji, lho….”
“Tapi, kali ini
beneran. Serius, aku ngga bercanda.”
Untuk menenangkan
Placer, Horca mengeluarkan kertas kusut dari dadanya.
Itu adalah kertas
pembungkus ‘benda mirip tanah liat itu’.
“Itu, apa?”
“Kemarin, habis
mengalahkan prajurit Ark menjijikkan yang sedang turun ke daratan, aku
mengambil ini dari sakunya.”
“Aa, pernah ada
kejadian gitu ya.”
Placer mengangguk,
membenarkan.
“Awalnya aku ngga
tau itu apa, habis kubaca huruf di situ aku jadi tau.”
“Oh gitu, Horca
bisa baca, ya…. Otakmu encer ya~”.
“Jadi disini
tertulis ‘Energy Mate’. Lalu aku mencoba memeriksa kata yang ngga
familier ini. Hingga akhirnya, aku dapat satu kesimpulan. Ini tuh makanan
praktis yang tersebar di Ark.”
Placer menelan
ludah begitu mendengar penjelasan Horca.
Ketika mendengar
kata-kata seperti ‘makanan[1],’
‘bahan makanan[2],’
ataupun ‘makanan lengkap[3],’
Placer yang tengah lapar selalu mengeluarkan ludah lebih banyak dari orang laon
pada umumnya.
Tak lama, fokusnya
kembali pada “tanah liat” itu. Hingga beberapa saat lalu, yang ia lihat
hanyalah gumpalan aneh, namun sekarang, entah bagaimana ia merasa tengah
melihat sesuatu yang hebat.
Oh ya, bau itu
juga―
“Tu, tunggu! Jangan-jangan…!?”
Tanpa piker Panjang, Placer mencoba mengenali baunya lagi, kemudian mundur
kebingungan.
Melihat keadaan Placer, Horca mengangguk-angguk.
“Aa, bau itu. Makanan itu mungkin manis….”
“Mamamamama, manis!?”
“Benar. Rasa yang dirumorkan sudah menjadi legenda…. Rasa manis.”
Placer jatuh berlutut di tempatnya.
Rasa manis― Ia pernah mendengarnya dari tetua desa.
Namun Placer yakin, lidahnya belum pernah mengecap rasa itu sama sekali.
Untuk mendapatkan makanan di permukaan, itu bahkan cukup sulit bagi
Kokujohyako yang dikenal sebagai kelompok terkuat di permukaan.
Terlebih, mereka diajarkan untuk mendahulukan orang tua ketika mendapatkan
makanan, sehingga para pemuda itu tidak mendapat makanan yang layak.
Bahkan buah, yang rasanya paling hampir mendekati manis itu, entah kenapa
seperti masih jauh dari rasa yang selalu diceritakan para tetua itu dengan raut
puas.
“Aku, pingin coba….”
Tanpa pikir panjang, kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Placer.
”Seperti yang kukira.”
Horca tertawa pelan.
“Karena itu, aku menunggumu.”
“E…, biar bisa ngasih itu?”
Vida, Horca, Placer, mereka bertiga sudah lama bersama. Horca sedikit lebih
tua dari yang lain, dan bagi Placer― ia adalah sosok kakak yang ‘agak’ nakal. Tentu saja,
hal memalukan seperti itu tak pernah sekalipun terucap dari mulutnya.
Placer menatap Horca. Namun, wajah Horca terlihat sangat gembira, lebih
dari cukup untuk mengkhianati pemikiran Placer.
“Bukan, lah! Tentu saja biar aku bisa menikmati rasa manis ini tepat di
depanmu~!”
“A, bajingan!! Ngga bakal kubiarin!!”
Placer mengambil “tanah liat” itu saat Horca masih terbahak-bahak.
“Oi hentikan, Placer! Itu punyaku!”
“Daripada Cuma liatin situ makan di depanku, mending sekalian kukasih ke
kake-kakek itu! Lagian menurut prinsip sini, mereka yang harus dikasih makan
duluan!”
“Ngga mau. Tanpa pemikiranku, ngga bakal ada yang tau kalua itu makanan.
Sekarang itu cuma benda ngga dikenal. Artinya, langkah paling benar adalah kita
harus mencicipinya untuk memastikan itu beracun atau ngga. Terus, yang harus mencicipinya
adalah….”
Horca menunjuk jari dengan tegas.
“Orang yang paling pertama menemukannya, tugasku.”
“Ugh….”
“Iya, kan?”
Placer bergidik.
Betapa pintarnya pria bernama Horca ini. Untung saja saat ini ia bisa
tenang karena Horca adalah temannya, akan sangat menakutkan jika sampai
bermusuhan dengannya.
“Aku… kalah….”
Setelah sempat ragu, Placer yang kehabisan tenaga meletakkan “tanah liat”
itu di meja. Sempat terlintas di pikirannya untuk menginjaknya― karena mau
bagaimanapun, ia tidak bisa mendapatkannya. Namun, perbuatan itu tidak
termaafkan untuk mereka yang menghargai “makanan” maupun “rasa manis”.
“Biarkan aku mencicipinya… Horca. Secuil saja.”
Horca tertawa puas melihat raut Placer yang seperti hendak menangis itu.
“Semangat yang bagus. Aku akan melaporkan rasanya secara rinci agar kau
tahu meski ngga mencobanya.”
“Ugh….”
Horca menjepit “tanah liat” itu dengan jarinya. Ia bergerak ringan dan
tidak ragu-ragu. Saat ia hendak menggigitnya―
“…!”
“!? Apa yang kau lakukan Placer?”
Saat Horca tersadar, Placer tengah menahan lengannya dengan kuat. Tindakan
itu di luar prediksinya. Namun, bersamaan dengan bunyi ‘klik’, api di dalam
diri Placer telah menyala, bermaksud untuk merebut mangsa Horca.
Setelah memahami situasi, isi kepalanya pun menjadi lebih jelas. Placer
tengah memuntahkan emosinya.
Dengan melihat gestur Horca, semangatnya pun dapat dirasakan― bahwa
dirinyalah yang lebih menginginkan rasa manis itu.
“Horca! Ngga bahkan kuserahkan itu padamu! Aku ngga peduli dengan orang
yang coba memakannya tanpa menghargainya sedikitpun!”
Placer memperkuat lengannya. Horca menahannya mati-matian, berusaha tidak
menjatuhkan “tanah liat” itu.
“Yang lebih menginginkan rasa manis itu adalah aku!”
“He…! Kau kira, orang yang perasaanya lebih kuat bisa menang, gitu? Dunia
ini ngga semanis itu!”
Horca menendang perut Placer yang terbuka lebar. Bagi orang biasa, kekuatan
itu cukup untuk untuk menjatuhkan beberapa tulang rusuk lawan, namun bagi
mereka, itu tak lebih dari suara gong pembuka saja.
“Sialan! Ngajak berantem kau ya!!!”
Cengkeraman Placer lepas akibat tendangan Horca, namun ia segera
menyeimbangkan tubuhnya, kemudian melancarkan serangan balasan.
“Hiyaaa….!!”
Placer mencoba mengerahkan sebuah pukulan kuat ke wajah Horca, tapi….
“!?”
“...Ada apa, Placer? Kau tidak akan memukul?”
Tinju Placer berhenti.
Horca menggunakan “tanah liat” itu sebagai tameng untuk wajahnya.
“Hor…ca….”
“Kehkehkeh….”
Melihat Horca yang tersenyum senang itu, Placer jadi semakin yakin dan
marah besar.
Horca sama sekali tidak mempunyai respek kepada rasa manis.
Jika dipikir lagi, dilihat dari urutan jatah makanan yang diberikan, Horca
yang lebih tua dari Placer akan mendapatkannya lebih dulu. Pastinya, Horca juga
pernah mencicipi buah manis, tidak seperti Placer.
Benar, tidak salah lagi. Karenanya, Horca bisa membaca huruf, dan tubuhnya
lebih tinggi dari Placer. Lalu lebih dari itu, ia lebih lapar akan rasa manis
dan tidak memiliki respek padanya.
“…Sekarang aku benar-benar marah. Aku akan serius~.”
Placer mengambil senjata yang ada di dinding. Senjata itu tampak seperti
pedang besar yang tidak biasa, atau menyerupai sabit, sungguh bentuk yang sulit
dijelaskan. Placer sudah menghancurkan kebahagiaan ratusan orang dengan ini.
“Baiklah, akan kuajarkan bahwa kau belum bisa menang dariku.”
Horca mengambil senjata panjang untuk meresponnya. Ia mengayun dan memutar
senjatanya, dan bermaksud mengincar tenggorokan Placer. Dibandingkan Vida dan
Placer, pengalaman bertarung langsungnya memang lebih sedikit, namun Horca
adalah seorang yang ahli.
Keduanya mengeluarkan hawa membunuh. Tanpa sinyal apapun, mereka berdua
memperpendek jarak di saat yang sama―
“!?”
“Sakiit!!”
Dalam waktu singkat, bersamaan dengan serangan kejutan yang kuat, Placer
dan Horca jatuh ke tanah.
Sambil mengelus kepalanya yang teramat sakit serasa dipecahkan itu, Placer
mendongak, disana….
“Kalian berisik.”
Ada Vida yang menunjukkan ekspresi dingin.
“Padahal lagi enak-enak tidur, malah kalian ganggu.”
Vida yang terbangun biasanya memiliki mood yang jelek. Perkelahian Placer
dan Horca memang hanya main-main, namun saat Vida datang menengahi, pasti ada
yang terluka. Horca langsung berdiri.
“A― maaf, maaf.”
Horca bermaksud menenangkan Vida yang tengah bad mood, namun―
“A~~~!”
Placer berteriak.
“Apaan! Brisik tau!”
“Lihatlah~~~”
Pandangan Placer tertuju pada “tanah liat” yang jatuh dan terbelah menjadi
dua.
“Vida~~~! Apa yang kau lakukan!?”
“Ngga tau, lah.”
Vida menghela nafas melihat Placer yang berlinang air mata.
“Haa. Lakukan sesuatu biar dia ngga nangis lebih lama, Horca.”
“Baik, baik.”
Horca menepuk pelan pundak Placer
yang masih menangis.
“Oi, Placer. Kau boleh makan setengahnya.”
“Se, serius?!”
Mata Placer langsung berbinar. Ia langsung mengambil “tanah liat” yang
jatuh ke tanah itu.
“Dari awal aku bermaksud membaginya. Aku Cuma menjahilimu, dan kau malah
jadi serius.”
Horca tertawa melihat wajah Placer yang menjadi cerah. Ia berbalik ke Vida.
“A…. Oh ya, Vida ngga mau?”
“Tidak, ngga butuh. Kalian makanlah tanpa ragu.”
“Lucky! Vida sangat baik~~~!”
Melihat sosok Placer yang berisik serta Horca yang tenang, Vida jadi
teringat masa lalu.
Hubungan mereka sejek kecil selalu seperti ini dan tak pernah berubah. Meski
mereka sadar bahwa mereka hidup di lingkungan yang terburuk, mereka masih bisa
tertawa karena mereka bertiga bersama.
“Enaak!!”
“Maniis!!”
Mendengar teriakan Placer dan Horca itu, tanpa sadar
Vida mengangkat kedua ujung bibirnya.
“A―”
“Perutku sakit….”
Placer dan Horca berteriak lesu. Semenjak keesokan harinya setelah memakan
“tanah liat” itu, perut mereka serasa rusak, dan mereka menghabiskan hari
dengan bolak balik ke toilet.
“…Kayaknya, perut kita ngga cocok sama makanan kelas tinggi, ya.”
“Sangat buruk~. Orang-orang Ark ngga bakal kumaafin.”
Melihat mereka berdua yang ambruk dan pucat itu, Vida mendengus dan
tertawa.
“Sudah kuduga bakal begini.”
“Kenapa, coba~~”
“Aku pernah makan sebelumnya. Dan itu juga menghancurkan perutku.”
“Vida sialan, kau diam-diam memonopolinya ya….”
“Curang~~”
Vida menatap Horca dan Placer yang tampak tidak puas.
“…Nih. Mau makan?”
Vida menyodorkan tikus sawah pada mereka berdua.
Setelah menatap tikus itu sekilas, Horca menghela nafas.
“Maksudmu, kita lebih cocok makan ini?”
“Menjijikkan, ya~”
“Hahaha…. Apa boleh buat. Bagi kita, ini rasanya seperti masakan ibu
sendiri, bukan?”
Mendengar kata-kata Vida, Horca dan Placer saling bertatapan.
“Ha. Apaan itu, sungguh bodoh….”
“Ahaha, kita sungguh yang terburuk, ya.”
“Benar. Kita benar-benar yang terburuk.”
Mereka bertiga pun tertawa dari lubuk hati terdalam.
La Danse Macabre:
Kokujohyako
Pengarang: Takuya
Yamanaka
Diterjemahkan
oleh: Nisrina AF
(18 Agustus 2021)

Komentar
Posting Komentar