―Kakakku
hilang.
Sudah sejak 3 hari yang lalu Tatsumi Kitano absen. Ia
juga tidak memberi kabar. Tidak ada balasan meski sudah mencoba menelpon serta
membunyikan bel apartemennya. Kami mendapat kabar itu dari wali kelas sekolah
kakak di Tokyo.
Kakak bukanlah tipe orang yang berkeliaran hingga
larut malam meskipun ia bertemu teman yang nakal, baik sang wali kelas maupun
kami, tahu akan hal itu. Jadi pada awalnya, kami pikir tidak ada masalah
serius. Kebetulan, ia mulai bersenang-senang seperti itu, atau mulai bergaul
dengan orang seperti itu. Ayah berkata, “Semasa muda pun aku begitu”, pastinya,
hanya untuk membuat ibu merasa lebih tenang.
Karena ayah harus pergi ke luar negeri untuk
pekerjaannya, serta kondisi kesehatan ibu yang mulai memburuk, aku pun memutuskan
untuk pergi ke Tokyo. Dengan membawa kunci apartemen kakak.
Lebih tepatnya, aku mengajukan diri.
Kebetulan, ujian akhir sekolahku baru saja berakhir,
dan ujian masuk SMA-nya juga sudah selesai.
“Aku akan pergi. Lagipula papa masih ada pekerjaan
yang penting, mama juga harus istirahat yang banyak.”
“Tapi, Tamaki….”
“Aku baik-baik saja. Hanya sehari, aku tidak akan
membuat masalah, kok.”
“Bukan soal itu. Dengar, Tamaki. Gadis bepergian
seorang diri―”
“Sebentar lagi aku sudah jadi anak SMA, lho.”
‘Bahaya bagi gadis SMP jika bepergian jauh sendiri’, mama
selalu melarang saat aku ingin berkunjung ke apartemen kakak, baik saat libur
musim panas bahkan libur musim dingin. Tampaknya, sekarang pun ia masih akan
mencegahku pergi.
Mungkin saja, Tatsumi tumbang karena demam, jadi ia
tidak bisa membalas panggilan dari luar, kan― ibu berkata seperti itu dengan khawatir. Ayah tampak
tidak secemas itu. Itu karena ia juga sering bermain hingga larut malam saat ia
masih muda.
Menurutku… kenapa ya?
Saat mau membuka pintu, kakak jatuh lemas karena
demamnya tinggi?
Atau mungkin, kakak yang sekarang berbeda dengan yang
kutemui saat liburan musim dingin terakhir?
Tidak. Bukan keduanya.
Entah bagaimana aku yakin.
“Oh, ternyata Tamaki. Ada apa?”
Aku membayangkan kakak mungkin akan berkata seperti
itu, dengan senyuman di wajahnya.
Tamaki Kitano.
Tercetak di tanda pengenal SMP. Itulah namaku.
Tepat di sebelah fotoku yang memakai seragam. Sekilas
tampak imut. Aku sering dibilang mirip dengan kakakku, namun menurutku, aku
lebih mirip dengan mama.
‘Pas fotonya sangat cocok ya’, kakak mengatakannya
saat akhir Maret tahun lalu, kalau tak salah saat liburan musim semi. Itu
tanggapan kakak saat aku menunjukkan tanda pengenalku yang baru saja
diperbarui. Anehnya, kakak tampak senang.
Waktu itu, bagaimana aku membalasnya ya?
Kalau tak salah, aku bilang, “Jangan menatapnya
terus”, sambil menepuk-nepuk pelan pundak kakak.
“…Ketemu. Hikari nomor 4.”
Stasiun JR Hiroshima. Sambil mengambil tanda pengenal
dari loket hijau, aku memeriksa informasi pada running text. Keretanya datang dua puluh menit lagi. Jika
menaikinya, seharusnya aku bisa sampai stasiun Tokyo saat siang, jadi aku akan
sampai di apartemen kakak pada pukul tiga sore.
Di saat seperti ini, aku bersyukur tempat kami tinggal
di Hiroshima dekat dengan stasiun JR.
Biasanya, hal praktis seperti ini tidak terasa, pun
aku juga tidak pernah merasa tak nyaman. Hiroshima yang sudah kutinggali sejak
lahir hingga 12 tahun ini, jika dibandingkan dengan Setagaya, Tokyo yang mana
hanya kutinggali sebentar, meski ada beberapa perbedaan, khususnya kebisingan
yang membuat tak nyaman, yang tidak ada di Hiroshima.
Lebih tepatnya, Hiroden[1]―
jika dibandingkan saat tidak bisa mencapai pusat kota Hatchobori hanya dalam
beberapa menit, mungkin lebih praktis daripada saat tinggal di Setagaya. Meski
tidak sebesar Ikebukuro ataupun Shinjuku, aku bisa pergi ke toko buku yang
besar, melihat-lihat pakaian, cukup untuk menghabiskan waktu bersama
teman-temanku.
Meski begitu, jika ada suatu kesan yang kuat, mungkin
seperti rentetan toko hamburger atau toko okonomiyaki yang tersebar
disana-sini? Berbeda dengan yang di Tokyo, disini kita bisa memilih apakah
okonomiyakinya mau dibuatkan oleh pegawai tokonya, atau mau buat sendiri. Aku
cukup terkejut. Karenanya, ah…, jika itu kakak, kupikir wajahnya pasti akan
memucat.
Karena kakak bukanlah orang yang sehebat itu.
Terutama, ia payah saat membalikkan sesuatu,
karenanya, saat tinggal sendiri pun ia sering mengeluh tidak bisa membuat ikan
panggang.
Kebetulan, aku cukup mahir membuat ikan panggang
maupun okonomiyaki. Menyajikan ikan bakar yang biasanya tidak kumakan untuk
kakak, bagiku adalah kebiasaan saat liburan panjang datang.
“Mungkin aku sebaiknya belanja dulu, ya.”
Aku pun membayar tiket yang sudah kupesan. Setelah
petugas memotong tiketku, aku pun naik shinkansen yang baru saja datang, pada
area bebas rokok gerbong nomor 10. Setelah menemukan kursiku, aku pun duduk.
“…Mungkin, ikan panggang?”
Aku menggumam.
Lagipula, ia kan jarang memakannya juga.
Jika ingin memasakkan sesuatu, maka aku harus membeli
bahan-bahannya dulu.
Biasanya, kulkas di apartemen kakak juga kosong, aku
juga tahu situasi kakak yang tidak bisa memasak sendiri. Jika menyampaikan
kondisi itu pada ibu, pasti ia memelas dan memutarkan pandangan matanya. Sebenarnya,
itu juga menjadi salah satu alasanku mengajukan diri untuk pergi ke Tokyo.
Tidak ada masalah apapun, atau meski ada peluang
sekitar 80-90 persen tidak bertemu― jika
kakak ada di ruangannya seperti biasa, ya, tidak salah lagi ibu tidak akan
sangat menentang keputusan kakak untuk tinggal sendiri. Hingga kondisi tubuhnya
memburuk seperti itu.
“Karena ia mudah sekali khawatir.”
Aku memandang luar jendela.
Pada hari kerja seperti sekarang, shinkansen tidak
begitu ramai, jadi mudah untuk mendapat kursi di samping jendela seperti
sekarang.
Jalanan Hiroshima terlihat dari balik kaca tebal.
Langit yang terbentang menuju laut.
Langitnya berwarna kelabu.
Warna yang tidak begitu kusukai.
Fate/Prototype
Fragments of Sky
Silver
“Stray Sheep”
Pukul 13.12, aku sampai di stasiun JR Tokyo.
Warna langitnya sama dengan di Hiroshima. Warna kelabu
yang amat pekat.
Melewati rute JR, lalu jalur lokal menuju Setagaya,
tempat kakak tinggal. Tempat tinggal kami sekeluarga dua tahun lalu, mungkin
karena aku hanya berkunjung di musim tertentu saja, sekilas tidak terlihat tak
ada yang berubah.
Sebenarnya, tidak.
Sudah banyak yang berubah.
Mesin penjual otomatis yang ada di sudut jalan saat
aku masih kecil, kini sama sekali tidak ada.
Di tanah lapang tempat aku dan kakak bermain bersama
dulu, kini berdiri mansion lima lantai.
Meski aku tidak begitu merasakan perbedaan jalan dari
stasiun Shinjuku hingga sini, saat di Setagaya, jika diamati baik-baik, ada
banyak hal yang berubah.
Kota yang kukenal. Kota yang belum lama ini, merupakan
kota kami.
Bau yang menyengat ini, mungkinkah kabut fotokimia? Di
tengah musim dingin seperti ini?
Meski tidak sampai membunyikan alarm peringatan,
adanya bau yang kurasa ini, apa mungkin perasaanku saja? Atau karena aku sudah
mengenal bau ini sejak kecil? Aku tak begitu mengerti.
Hanya saja, aku merasa sedikit lega―
Aa. Ini kota yang kukenal. Kota tempat tinggal kakak.
Dulu, kakak pernah bilang. “Kau selalu cemberut karena
bau dan kabut ini, mungkin, jika kau pindah, kau akan jarang mencium bau
seperti ini lagi,” kurang lebih begitu.
“…ugh.”
Kukepalkan
tanganku di depan dada.
Aku, begitu rupanya. Meski sempat merasa lega, aku
juga masih khawatir.
Begitu menyadarinya, selurug tubuhku menegang. Tenang,
semua baik-baik saja. Kota tempat tinggal kakak, tempat yang belum lama ini
kami tinggali ini memang biasanya seperti ini. Jika begitu, kakak juga pasti
sehat seperti biasanya.
Jalan setapak yang terasa sempit jika dibandingkan
dengan Hiroshima ini, gonggongan keras anjing yang berjalan menuju ke arahku,
semuanya tak berubah. Sama dengan saat aku berkunjung waktu libur musim dingin,
kurang lebih satu bulan yang lalu.
Bahannya― sebaiknya
belanja dulu saja, deh.
Ikan musiman sekarang apa, ya?
Um…. Pertama, ke tempat kakak dulu saja, yuk. Aku
ingin melihat wajahnya.
Aku mungkin harus menasihatinya untuk tidak membuat
ibu khawatir, begitu pikirku saat keluar dari stasiun Tokyo, perubahan rencana.
Aku juga khawatir. Pertama, minta maaf.
Adakah makanan yang ingin dicoba, atau mau kubuatkan
sesuatu, itu kulakukan nanti saja.
Lalu, aku―
Aku sampai di apartemen kakak pukul 15.00 sesuai
rencana.
Pertama, aku mengecek kotak surat. Tidak ada satupun
surat di situ.
Aku menaiki tangga menuju lantai dua, lalu membunyikan
bel ruangan kakak. Setelah menunggu dua detik, aku membunyikannya sekali lagi.
Tidak ada jawaban.
Setelah tiga kali membunyikannya, aku membuka pintu
menggunakan kunci yang kubawa.
Ruangan 1DK[2]
kecil.
Dari pintu masuk, terlihat dapur dan kamar kecil.
Setelahnya, ada ruangan berukuran 6 tatami[3].
“Kakak!”
Tidak ada jawaban.
Aku beranjak dari pintu masuk.
Di kamar mandi yang sempit, toilet, ruangan 6 tatami
juga.
Tidak ada kakak.
Untuk berjaga-jaga, aku juga memeriksa lemari, namun
tidak ada siapapun.
Dulu, saat masih tinggal bersama seluruh keluargaku di
rumah dekat apartemen ini, aku dan kakak sering bermain petak umpet di lemari
seperti ini saat kecil.
Tidak ada. Kakak.
“…eh?”
Meski sudah berkeliling.
Tidak ada sosok kakak dimanapun.
―lalu,
aku melihatnya.
Di meja kecil, terdapat dua cawan berisi air.
Tak masuk akal, terlalu sembrono.
Apa yang kami lakukan tidak masuk akal.
Temanku berkata demikian, namun sekarang, aku tak akan
meragukan kata-katanya.
Ah… sungguh tak masuk akal.
Aku penasaran, apa yang kaupikirkan ya?
Karenanya, aku menuliskannya disini.
Sebenarnya, aku harus meninggalkannya di ruanganku setelah
menulisnya, namun aku tidak bisa. Aku menanyakan cara kerjanya, namun tidak
begitu paham. Pokoknya, menyembunyikan? Karena hal seperti ini harus dirahasiakan
baik-baik. Jika meninggalkan sesuatu di ruangan, biasanya hal seperti ini akan
terbuang lebih dulu.
Karenanya, disini.
Aku meninggalkannya.
Ayah.
Ibu.
Tamaki.
Semoga kalian selalu sehat.
(Dikutip
dari memo buku catatan seorang siswa)
Keputusanku sudah sewajarnya.
Pikiranku pun tenang.
Tak ada hal yang berusaha menghentikannya, hatiku,
tetap menari dalam diam layaknya permukaan air.
Tidak bergetar semenit pun.
Bahkan keraguan pun, sama sekali tidak akan ada.
Aku siap mati, kapanpun.
Demi mempersembahkan seluruh jiwaku pada holy grail.
Tak ingin mati?
Tidak.
Tidak.
Aku adalah―
Hassan
of Serenity.
Aku terwujud di dunia ini sebagai assassin, Hassan
Sabbah.
Sekarang, aku bisa mati kapanpun.
Bukan berarti aku menyerah. Melainkan kebalikannya.
Aku, akhirnya mendapatkannya.
Berkat kekuatan holy grail, impian dari lubuk terdalam
hatiku telah terwujud.
Yaitu, aku telah mendapatkan tuanku.
Yaitu, ia yang meski kusentuh tidak akan pernah
tumbang, kudapatkan sebuah cahaya.
Apakah aku punya permohonan lain?
Satupun, tidak.
Hasratku terpenuhi, lebih dari saat melintasi malam di
kehidupan sebelumnya.
Hal ini lebih menakjubkan dan memuaskan dibanding saat
ia mati sebagai Hassan Sabbah yang tak bersalah.
―Aku
yakin, perasaan ini telah meluap.
Aku bersedia mati untuk orang itu.
Jika iblis yang sudah ternoda ini, digunakan sebagai
pion dari para penyihir sebagai iblis baik demi holy grail, maka
kupersembahkan. Sekarang. Kapanpun.
Ah…. Sebenarnya, kapan tepatnya kau datang?
Orang yang kuhormati, tuanku yang tak akan tergantikan― Sajou Manaka.
Tuanku sudah mengetahui lokasi Great Holy Grail.
Master yang tersisa, hanya tinggal seorang.
Akhir dari Holy Grail War sudah dekat.
Sepertinya, tuanku tidak peduli dengan para penyihir
yang lari dari holy grail war demi menyelamatkan nyawa mereka. Faktanya, tuanku
sudah menyadari akan pembangkitan great holy grail.
Tidak lama lagi, aku pun akan meninggalkan mansion
keluarga Sajou ini.
Tak
lama lagi, aku akan bersatu dengan holy grail―
“Kebetulan sekali.”
Waktu menjelang sore.
Suara Caster memecah keheningan yang menyelimuti
koridor.
Roh pahlawan yang memberikan kesetiaan pada tuannya.
Berbeda dengan saber yang terikat mantra perintah
secara langsung sebagai servant, keberadaan kami bukanlah demikian. Kami
memilih sendiri Manaka Sajou sebagai master.
Roh pahlawan yang berkhianat.
Namun, sebuah perbedaan mendasar dari kami― dia bukanlah anti-hero.
Nama asli, Paracelsus.
Seorang penyihir dari era dimana sihir dan ilmu
pengetahuan tidak terpisah seperti sekarang.
Dicintai orang-orang, dan dikenal sebagai pria yang
berkontribusi pada pengembangan perawatan medis. Seorang roh pahlawan yang
mencatatkan namanya dalam sejarah manusia.
“Aku mencarimu, Assassin.”
Di balik rambut hitam yang berkilau itu, ia tersenyum
kepadaku.
Ekspresinya tidak menyenangkan.
Aku tahu.
Ekspresi itu, layaknya binatang ataupun pemburu saat menghadapi
mangsanya.
Ia keluar dari salah satu kamar tamu.
Kepala keluaraga Sajou, Hiroki Sajou― ayah tuan kami, mengizinkan kami, para servant untuk
tinggal dan beraktivitas dengan bebas di kediamannya. Beliau hanya memberi satu
aturan, yaitu sebisa mungkin untuk menghindari kontak dengan adik tuan kami,
Ayaka Sajou. Jikalau kami bertemu dengannya, kami tidak boleh menyebutkan
identitas kami sebagai servant dan jangan sampai melibatkannya dalam holy grail
war.
Beliau mengatakannya setelah pertemuanku dengan nona
Ayaka yang tiba-tiba itu.
Setelah itu, aku menghabiskan waktu dengan lebih
berhati-hati.
Aku juga lebih menahan diri untuk berubah ke wujud
rohku. Dengan ini, saat menggunakan wujud manusia, aku melepas topengku dan
berpura-pura menjadi anak seseorang.
Sementara itu, berbeda denganku, sejak awal Caster
lebih banyak menghabiskan waktu di rumah ini. “Elixir[4]” yang
ia sempurnakan, sangat membantu Saber dalam pertempuran penentuan di Teluk
Tokyo kemarin. Setelah prtarungan itu pun, ia terus melangsungkan praktik
sihirnya untuk mengaktifkan Great Holy Grail. Meski bagi tuan kami hal itu
mungkin tidak diperlukan, ia tetap mengizinkan Caster melakukannya.
Misalnya, ruang tamu ini. Caster meminjam beberapa
ruangan tuan dan menyulapnya menjadi tempat kerjanya sendiri, dan ia terus
bekerja baik siang maupun malam.
“…Makhluk sihir baru, ya?”
“Benar.”
Caster mengangguk.
Dalam kegelapan ruang tamu tanpa penerangan ini, aku
merasa sedang diawasi.
Ada sesuatu disini.
Ada sesuatu yang terikat dengan sihir seperti kami,
namun bukan seorang servant. Aku merasakan kekuatan magis yang luar biasa
tinggi, namun ada sesuatu yang berbeda. Bukan ilusi. Apakah aroma melati yang
samar ini ditijukan untuk menutupi bau mayat?
Sebuah makhluk yang tidak biasa.
Aku tahu.
Hal ini bukan pengetahuan yang kudapat dari holy
grail, aku tahu dari pengalamanku sebagai Hassan Sabbah.
Itu adalah sesuatu yang seharusnya tidak ada.
Sesuatu yang mengerikan dan mengancam.
Apakah itu sejenis ghoul?
“Dalam situasi ini, apa mayat itu berguna untuk
Master?”
“Ini bukan untuk nona Manaka. Ini adalah hadiah
untukmu, Assassin.”
“Apa?”
“Hadiah paling cocok untukmu di bumi ini.”
Lalu, ia mengatakannya.
―Kau
tidak pantas untuk melayani nona Manaka.
“Karenanya, ini hadiah. Untuk putri racun yang malang.”
“Apa yang….”
Apa hanya itu yang ingin kau katakan?
Sambil menahan kalimat itu, aku pun menghela nafas.
Nafas kami saling berpotongan, apa ia berpikir untuk
memprovokasi diriku, yang tercepat di antara tujuh pahlawan, dengan cara
seperti itu? Pria ini. Aku tidak peduli jika harus menggunakan ciuman racun
ataupun mengarahkan belatiku padanya. Jika aku marah dan meladeninya, itu tak
akan berpengaruh bagi banyak orang, ataupun berpengaruh pada jalan untuk
mewujudkan ambisi tuan―
Apa tidak masalah, tuan penyihir?
Aku bertanya dan menatapnya tajam.
Ia tidak menjawab.
Ia mengulang kata-katanya dengan dingin.
“Ini hadiah yang sangat cocok untukmu. Kau tak masalah
meski itu bukan nona Manaka, bukan? Apapun atau siapapun itu tidak masalah
asalkan itu tidak mati meski kau menyentuhnya. Benar, kan? Hassan of Serenity.”
Setelah ia memanggil nama asliku, aku melihatnya.
Ia memperlihatkan sosok yang ada di kegelapan itu.
Mayat yang berjalan.
Orang yang sudah tak bernyawa.
“Ia mendapatkan kembali nyawanya untuk sementara. Biasanya,
untuk mendapatkan otak yang cocok untuk beberapa jenis mayat hidup akan
memerlukan sejumlah detail dan waktu. Namun…. Bagi roh pahlawan sepertiku yang
terkenal akan skill item construction di atas rata-rata, hasilnya menjadi
seperti ini.”
“A….”
Tidak mungkin.
Tidak mungkin.
Tidak, aku sudah membunuhnya. Harusnya aku sudah
membunuhnya, tapi….
Mengapa?
“Ia kembali dari kematian. Kebangkitan yang fana. Dengan
menggunakan elixir yang kuciptakan, ada kemungkinan untuk menjauh dari kematian
untuk sementara waktu. Bahkan ada cara untuk memberikannya ingatan saat ia
masih hidup.”
“Mengapa?”
“Seperti yang kukatakan, ini untukmu. Agar kau tahu
apa cintamu sebenarnya.”
“Cin…ta…?”
Suara itu.
Bohong. Suara sekecil ini tidak mungkin keluar dari
tenggorokanku.
Bahkan untuk menjebak mangsaku, aku tidak pernah
bersuara sekecil ini.
Aa….
Aa….
Yang ada… di depanku ini….
―Orang
yang… telah kurebut nyawanya.
Hari itu. Malam itu. Saat itu.
Di lantai atas sebuah apartemen di distrik Suginami,
Tokyo.
Orang yang kupeluk.
Orang yang kucium.
Orang yang harusnya sudah kulelehkan otaknya, sudah
berhasil kubunuh.
Master dari Berserker.
Pemilik mata sihir merah yang bersinar. Bocah
laki-laki itu.
Namanya…. Siapa ya?
“Si…a…pa… kau…?”
Bibir pucat itu bergerak―
Suara yang bergetar itu keluar dari tenggorokan yang
sudah mati dan kaku.
“Tidak…. Aku… tidak mau… membunuhmu.”
Mata yang mendung itu.
Menatap ke arahku.
Orang mati yang seharusnya sudah tidak ada di dunia
ini, kini berdiri di hadapanku.
Makhluk penghisap darah. Apakah itu? Aku tidak
mengerti. Aku tidak tau. Tidak, otaknya sudah rusak. Kalau begitu…. Tidak, tapi
tak salah lagi, yang ada di hadapanku ini…. Tidak salah lagi, itu dia.
Habisnya….
Aku mendengarnya.
Aku memahaminya.
Orang itu…. Dia… melanjutkan kata-kata yang ia ucapkan
pada malam itu.
―Aku
membuka mata dan terpaku.
“Seperti yang kuduga. Aku yakin kau akan senang
menerimanya. Hadiah ini sangat cocok untukmu, mengapa, ia tidak akan mati meski
menerima racun apapun itu. Racunmu itu memang sangat kuat, bahkan bisa membunuh
phantasmal sekalipun. Tapi…racun itu tidak bekerja pada mayat.”
Aku mendengar suara yang sangat dingin.
Tepat di belakangku.
“Sekarang…. Belailah dia sepuasnya. Tidak akan ada
satupun yang akan menghentikanmu.”
Untuk
Kakak.
Apakah kau sehat?
Mama mengkhawatirkanmu.
Hubungilah kami meski hanya lewat telepon.
Kalau bukan, apapun itu boleh…. Hubungi kami.
Aku juga khawatir.
Apa yang terjadi?
(Dikutip dari catatan yang ditujukan kepada Tatsumi
Kitano)
“Hei, kak.”
Ya….
Saat itu aku memanggil kakak.
Kurasa itu terjadi belum begitu lama. Namun
kenyataannya, itu sudah terjadi lama sekali.
Kurasa, saat itu kami tengah berjalan di sepanjang
sungai Maruko untuk pulang sehabis tamasya. Kami berjalan berdampingan dan
bergandengan tangan, menuju ke rumah berlantai dua yang dekat dengan apartemen
tempat tinggal kakak saat ini.
Tubuhku pendek dan kecil dibandingkan anak seusiaku.
Terlebih, aku pengecut.
Aku tidak pernah bermain ataupun pergi ke rumah
temanku sendiri. Aku selalu mengikuti kakak kemanapun ia pergi.
Ya. Itu benar.
Aku selalu mencari sosok kakak.
Jika kehilangan kakak, aku menangis. Dengan begitu, kakak
akan datang padaku.
Ketika berjalan pulang, aku selalu menggenggam
tangannya.
Kakak tidak pernah sedikitpun menunjukkan rasa tidak
sukanya, dan selalu membalas genggaman tanganku.
Karena waktu itu aku cukup pendiam, saat pulang,
kakaklah yang sering mengajak bicara, sedangkan aku hanya membalas dengan “ya”
dan mengangguk.
Setiap hari, selalu seperti itu.
Aku mengingatnya dengan baik.
Namun, yang paling berkesan di antara semua itu, tak
lain mengenai satu hari itu. Tentang waktu itu.
“Tadi, saat Nori-kun melakukan sesuatu yang buruk….”
Sepulang sekolah, saat bermain dengan teman sekelas
kakak, Norimitsu-kun.
Kala itu, kalau tidak salah, pada Jumat malam aku
sedang menonton anime favoritku, namun mereka sering menampilkan film zombie
yang memakai make up khusus- mungkin
itu suatu film horor yang populer, begitu pikirku, dan sepertinya― aku menjadi mudah emosi.
Karenanya, hari itu pun juga demikian.
Kami hanya bermain peran. Meski begitu, dalam lubuk
hati, aku takut.
Narimitsu-kun berperan menjadi penjahat yang memiliki
rencana mengerikan, yaitu mengubah seluruh aliran air di Tokyo menjadi air
beracun.
Kakak berperan sebagai pembela kebenaran.
Sosok yang akan bertarung dengan orang jahat.
Lalu, aku, seperti biasa akan menjadi sandera dalam
permainan semacam ini.
“Tunggu, aku takut.”
Aku berbisik kepada kakak.
Bukan sedikit. Aku benar-benar takut.
Habisnya, jika semua air di saluran itu benar-benar
berubah menjadi racun, semua orang akan mati.
Mama dan Papa juga. Chibi-kun, anjing yang kupelihara
waktu itu juga. Teman-teman semasa TK juga, guruku juga, semuanya. Semuanya.
Orang yang sangat kusayangi akan mati.
Aku membayangkan hal itu.
Saat berjalan pulang setelah permainan berakhir,
badanku masih gemetaran. Padahal hari itu tidak dingin.
“Aku akan membunuh semuanya!”, “Tidak akan ada satupun
yang selamat!”, kalimat yang dilontarkan Norimitsu-kun sambil tertawa itu,
seperti menusukku begitu dalam, dan bagaimanapun juga itu membuatku ketakutan.
Ia tak tampak seperti Norimitsu-kun yang biasanya,
Norimitsu-kun yang sangat mahir bermain dodgeball dan agak payah dengan game
TV.
Orang yang menangkap dan tidak melepaskanku saat itu,
tak salah lagi, ia seorang penjahat.
Karenanya. Aku takut. Aku takut.
“Ini hanya sebentar, kok.”
Sambil mengatakannya, aku menggenggam erat tangan
kakak.
“Tapi, karena ada kakak, aku tidak takut.”
Setengahnya, bohong.
Setengahnya, aku sungguh-sungguh.
Waktu itu aku sangat takut, tapi… karena kakak ada
untukku―
Karena aku tau, kakak akan datang menyelamatkanku, aku
bisa bertahan hingga permainan berakhir.
Karena aku tau, kami akan bergandengan tangan seperti
ini lagi saat pulang.
“Apaan itu. Kupikir kau takut.”
Kupikir, kakak tau aku berbohong.
Namun, aku tidak mengatakan apapun lebih dari itu.
Kakak tertawa.
Tenang saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan― ia menunjukkan ekspresi seperti itu.
Di apartemen Tatsumi.
Setelah meletakkan memo yang kutulis di meja belajar
kakaknya, ia termenung selama beberapa menit.
Tamaki Kitano memutuskan untuk memikirkan tindakan
selanjutnya.
Menghubungi polisi? Bukan.
Menghubungi rumah? Bukan.
Ia yakin, setidaknya dalam beberapa hari terakhir,
kakaknya masih menggunakan ruangan ini. Menurut Tamaki, ruangan yang masih
terasa penuh kehidupan ini tampak seperti menunggu pemiliknya untuk kembali,
dengan begitu, si tuan pasti akan segera kembali.
Ia memutuskan untuk berpikir demikian.
Mungkin ini bukan tindakan terbaik.
Meski begitu, Tamaki memutuskan untuk melakukan apa
yang ia bisa.
Setelah keluar dari apartemen, Tamaki pergi menuju
supermarket terdekat yang buka hingga jam 10 malam. Disana, ia bertemu dengan
wanita paruh baya yang menyapa “Lama tidak berjumpa”, “Orang tuamu sehat?”, Tamaki
berusaha menjawab dan tersenyum seadanya, lalu membeli bahan makanan.
Tanpa mengandalkan kulkas yang kosong seperti dugaannya,
ia mulai memasak.
Tamaki mencampur kinpira gobo[5] dan
bayam bayam.
Kemudian memasukkan kerang dan pasta miso merah pada
sup.
Lalu ia memasak beras yang tampaknya dikirim dari
rumah.
Kemudian tumis sayuran dengan daging babi pedas yang
rasanya kuat, jumlahnya cukup banyak.
Lalu, ia membakar ikan kesukaan kakaknya. Sawara[6]. Itu
adalah ikan musim semi, seperti namanya[7]. Udaranya
memang masih dingin, namun sebentar lagi musim semi akan tiba.
“Yosh. Selesai.”
Menurut Tamaki, makan malam ini rasanya sudah cukup
bagus.
Meski tentunya tidak sebagus saat ia dibantu oleh
ibunya.
“Jika dia komentar ’tak kusangka rasanya jadi semanis
ini.’ atau ‘harusnya sih sekalian kare saja.’ akan langsung kuusir dia.”
Saat Tamaki selesai memasak, matahari sudah terbenam
dan hari menjadi malam.
Saat itulah ia sadar untuk segera menelepon orang
tuanya di Hiroshima.
“…Ya. Aku akan coba menunggunya sebentar lagi.”
Di seberang telepon, terdengar jelas ibunya yang
sangat mengkhawatirkannya.
Harusnya ia menelepon pada jam 3 sore, kini sudah
terlambat beberapa jam, sudah wajar ibunya khawatir.
Setelah meminta maaf, ibu menjadi lebih tenang. Tenang
saja. Kakak memang tidak ada di sini, namun rasanya ruangan ini tidak
ditinggalkan begitu lama, jadi ia pasti akan segera kembali.
Hari ini aku akan menginap disini, pokoknya, aku akan
coba melihat situasi sampai besok.
Tamaki berkata demikian.
“Jangan menangis, mama. Semuanya baik-baik saja kok.”
Tamaki menutup telepon.
“Fuh…,” ia menghela nafas. Putih.
Oh iya, Tamaki lupa menyalakan penghangat ruangannya.
Kalau begini, hidangan yang baru saja ia buat dan
ditata di atas meja menjadi langsung dingin. Masakannya. Karena ia sudah
berjuang untuk membuatkannya meski di cuaca dingin seperti ini― ia ingin
kakaknya segera pulang.
Dengan begini, selagi uapnya masih mengepul.
Ia ingin makan bersama.
Mendapat komentar “enak” atau apapun itu.
Setelah itu, ia ingin bertanya kenapa ia sampai absen
dari sekolah beberapa hari terakhir.
“…A…. Atau mungkin, kakak sedang pergi bersama
pacarnya, ya?”
Setelah mengucapkannya, ia langsung sadar bahwa
kemungkinan itu sangat kecil.
“Mana mungkin, ya.”
Beberapa kali pun ia datang berkunjung, kakaknya tak
pernah berubah. Meski ia semakin tinggi dan postur tubuhnya semakin bagus, meski
bertumbuh hingga tahap hendak melampaui ayahnya, ia selalu menunjukkan ekspresi
tidak percaya diri ketika membahas tentang pacar.
“Karena ia mirip denganku, seharusnya penampilannya
tidak masalah. Harusnya dia lebih percaya diri.”
Ia bicara sendiri.
Sambil menunggu pemanas elektrik yang baru saja ia
nyalakan mulai menghangat, ia berdiri, menghela nafas yang tampak putih dan
menggosok-gosokkan telapak tangannya. Mungkin sampai udara di ruangan ini
menghangat, Tamaki berpikir untuk mengenakan selimut dan mantel dobel.
Saat hendak meraih mantel yang menggantung di dinding,
tangannya tiba-tiba berhenti.
Di sebelah mantelnya.
Sebuah seragam siswa berwarna hitam digantungkan di
tembok menggunakan hanger.
Terbayang sosok hitam tanpa wajah, dengan fisik yang mirip
dengan kakaknya.
“…Kakak, kau pergi kemana, sih?”
Buk.
Ia melepaskan satu pukulan ringan.
―Tidak
ada jawaban berarti dari seragam sekolah itu.
Tidak
ada. Satupun.
Fate/Prototype
Sougin no Fragments Volume 3 Special Act “Stray Sheep”
Pengarang:
Hikaru Sakurai
Diterjemahkan
oleh: Nisrina AF
(16 Juli 2021)
[1]
Kereta api listrik Hiroshima
[2]
Dining-kitchen
[3]
1 tatami = 1,82 m x 0,92 m.
Kurang lebih ukuran ruangan Tatsumi 2,73 m x 3,64 m.
[4]
Dari kanjinya juga bisa
diterjemahkan “batu bertuah” (賢者の石).
[5]
Tumisan sayur wortel,
burdock/gobo, dan akar teratai.
[6]
Ikan dari famili makarel,
sejenis tenggiri.
[7]
Kanji sawara (鰆) memiliki
komponen kanji haru/musim semi (春)
Komentar
Posting Komentar